Memahami nama-nama Allah سبحانه وتعالى yang Maha indah dan sifat-sifat-Nya yang Maha sempurna merupakan pembahasan yang sangat penting dalam agama Islam, bahkan termasuk bagian paling penting dan utama dalam mewujudkan keimanan yang sempurna kepada Allah سبحانه وتعالى . Karena tauhid ini adalah salah satu dari dua jenis tauhid yang menjadi landasan utama iman kepada Allah سبحانه وتعالى .
Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Sendi utama (kunci pokok) kebahagiaan, keselamatan dan keberuntungan adalah dengan mewujudkan dua jenis tauhid yang merupakan landasan tegaknya iman kepada Allah سبحانه وتعالى , yang akan Allah سبحانه وتعالى wujudkan dengan mengutus para rasul-Nya. Inilah inti seruan para rasul dari yang pertama sampai yang terakhir.
Yang pertama: Tauhid al-’ilmi al-khabari al-I’tiqâdi (tauhid yang berhubungan dengan ilmu/pemahaman, yang bersumber dari berita/wahyu Allah سبحانه وتعالى semata[1]mata, dan menyangkut keyakinan dalam hati), yang mengandung penetapan sifat-sifat maha sempurna bagi Allah سبحانه وتعالى , dan pensucian sifat-sifat-Nya dari penyerupaan (dengan sifat makhluk), serta peniadaan sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan dari-Nya.
Yang kedua: Penghambaan diri kepada Allah سبحانه وتعالى semata-mata dan tiada sekutu bagi-Nya, memurnikan kecintaan, keikhlasan, ketakutan, pengharapan dan penyandaran diri kepada Allah سبحانه وتعالى , serta sikap ridha kepada Allah سبحانه وتعالى Rabb (pencipta), sembahan dan pelindung satu-satunya, dan tidak menjadikan tandingan bagi-Nya dengan segala sesuatu.
Allah سبحانه وتعالى telah menghimpun dua jenis tauhid ini dalam dua surat al-Ikhlâsh1 (dalam al-Qur’ân), yaitu surat:
﴿ قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ ١ ﴾
Katakanlah: Hai orang-orang kafir. (Qs al-Kâfirûn/ 109:1)
Surat ini mengandung tauhid al-’amali al-irâdi (tauhid yang menyangkut amal perbuatan dan kehendak/niat).
Dan surat:
﴿ قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ ١ ﴾
Katakanlah: Dia-lah Allah سبحانه وتعالى yang Maha esa. (Qs al-Ikhlâsh/112:1)
Surat ini mengandung tauhid al-’ilmi al-khabari.
Dan masing-masing tauhid ini tidak bisa berdiri sendiri tanpa yang lainnya (keduanya saling menyempurnakan). Oleh karena itulah, Rasulullah ﷺ selalu membaca kedua surat ini dalam shalat sunnat sebelum shalat subuh dan sesudah magrib, serta dua rakaat terakhir shalat witir. Shalat subuh dan maghrib merupakan pembuka dan penutup amal shalih (shalat), yang bertujuan untuk menjadikan tauhid sebagai permulaan dan penutup waktu siang hari”2 .
Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Shâlih al- ’Utsaimîn رحمه الله ketika menjelaskan makna iman kepada Allah سبحانه وتعالى , beliau berkata: “Iman kepada Allah سبحانه وتعالى mengandung empat perkara:
- Pertama : mengimani /meyakini keberadaan Allah سبحانه وتعالى .
- Kedua : mengimani keesaan Allah سبحانه وتعالى dalam Rubûbiyyah (pencipta, pengatur dan pelindung bagi alam semesta).
- Ketiga : mengimani keesaan Allah سبحانه وتعالى dalam Ulûhiyyah (hak untuk diibadahi).
- Keempat : mengimani semua nama dan sifat Allah سبحانه وتعالى dengan cara yang sesuai dengan kemaha-sempurnaan dan kemahaagungan-Nya, tanpa menyelewengkan makna, menolak, memvisualkan, dan menyerupakan (sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk). Maka barangsiapa yang menyelewengkan makna ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah سبحانه وتعالى , berarti dia belum mewujudkan keimanan yang sempurna kepada Allah سبحانه وتعالى “3 .
Pentingnya Memahami Tauhid Asmâ‘ Wa Sifât
Untuk memperjelas keterangan di atas, berikut ini kami akan sampaikan beberapa hal penting yang menunjukkan besarnya keutamaan memahami tauhid ini:
- Memahami tauhid asmâ‘ wa shifât adalah ilmu yang paling agung dan paling utama secara mutlak, karena berhubungan langsung dengan Allah سبحانه وتعالى , zat yang maha sempurna.
Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Sesungguhnya keutamaan suatu ilmu mengikuti keutamaan obyek yang dipelajarinya. karena keyakinan akan dalil-dalil dan bukti-bukti keberadaannya. juga karena besarnya kebutuhan dan manfaat untuk memahaminya. Maka tidak diragukan lagi, bahwa ilmu tentang Allah سبحانه وتعالى , nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya adalah ilmu yang paling agung dan paling utama. Perbandingan ilmu ini dengan ilmu-ilmu yang lain adalah seperti perbandingan (kemahasempurnaan) Allah سبحانه وتعالى dengan semua obyek yang dipelajari (dalam) ilmu-ilmu lainnya”4 .
- Memahami tauhid asmâ‘ wa shifât Allah سبحانه وتعالى adalah landasan utama semua ilmu yang lainnya.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah رحمه الله berkata: “Ilmu tentang nama, sifat dan perbuatan Allah سبحانه وتعالى adalah landasan semua ilmu. Semua ilmu lainnya mengikuti ilmu ini; yang juga dibutuhkan untuk mewujudkan keberadaan ilmu-ilmu lainnya. Sehingga ilmu ini merupakan pokok dan landasan bagi setiap ilmu lainnya. Barangsiapa yang mengenal Allah سبحانه وتعالى maka dia akan mengenal selain-Nya, dan barangsiapa yang tidak mengenal-Nya maka lebih lagi dia tidak akan mengenal selain-Nya. Allah سبحانه وتعالى berfirman:
﴿ وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ﴾
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa (lalai) kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik” (Qs al-Hasyr/59:19)
Renungkanlah ayat ini, maka kalian akan menemukan di dalamnya suatu makna yang agung dan mulia, yaitu: barangsiapa yang lupa kepada Allah سبحانه وتعالى , maka Allah سبحانه وتعالى akan menjadikannya lupa kepada dirinya sendiri, sehingga dia tidak mengetahui hakekat dan kebaikan-kebaikan untuk dirinya sendiri. Bahkan dia melupakan jalan untuk kebaikan dan keberuntungan bagi dirinya di dunia dan akhirat. Karena dia telah berpaling dari fitrah yang Allah سبحانه وتعالى jadikan bagi dirinya, lalu dia lupa kepada Allah سبحانه وتعالى . Maka Allah سبحانه وتعالى menjadikannya lupa kepada diri dan perilakunya sendiri, juga kepada kesempurnaan, kesucian dan kebahagiaan dirinya di dunia dan akhirat. Allah سبحانه وتعالى berfirman:
﴿ وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوٰىهُ وَكَانَ اَمْرُهٗ فُرُطًا ﴾
Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa (nafsu)nya, dan keadaannya itu melampaui batas.” (Qs al-Kahfi/18:28)
Karena dia lalai mengingat Allah سبحانه وتعالى , maka keadaan dan hatinya pun melampaui batas (menjadi rusak), sehingga dia tidak memperhatikan kebaikan sedikit pun, kesempurnaan, serta kesucian jiwa dan hatinya, bahkan kondisi hatinya menjadi tak menentu dan tidak terarah, keadaannya melampaui batas, merasa kebingungan, serta tidak mendapatkan petunjuk ke jalan yang benar.
Jadi, ilmu tentang Allah سبحانه وتعالى adalah landasan semua ilmu, sekaligus merupakan landasan pemahaman seorang hamba terhadap kebahagiaan, kesempurnaan dan kebaikan (dirinya) di dunia dan akhirat. Ketidakpahaman terhadap ilmu ini akan mengakibatkan ketidakpahaman terhadap kebaikan, kesempurnaan, kesucian dan kebahagiaan diri sendiri. Maka memahami ilmu ini adalah (kunci utama) kebahagiaan seorang hamba, dan ketidakpahaman tentangnya merupakan sumber (utama) kebinasaannya.”5
- Memahami tauhid asmâ‘ wa shifât Allah سبحانه وتعالى dengan benar adalah satu-satunya pintu untuk bisa mengenal Allah سبحانه وتعالى (ma’rifatullâh) dengan pengenalan yang benar, yang merupakan landasan ibadah kepada Allah سبحانه وتعالى . Karena salah satu landasan utama ibadah adalah al-mahabbah (kecintaan) kepada Allah سبحانه وتعالى dan hal itu tidak mungkin dicapai kecuali dengan mengenal Allah سبحانه وتعالى dengan pengenalan yang benar melalui pemahaman terhadap tauhid nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sehingga orang yang tidak memiliki ma’rifatullâh (mengenal Allah سبحانه وتعالى ) dengan benar, tidak mungkin bisa beribadah dengan benar kepada-Nya.6
Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allah سبحانه وتعالى dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, maka dia pasti akan mencintai-Nya.”7
Oleh karena itulah, Allah سبحانه وتعالى menjelaskan keterkaitan antara ibadah kepada-Nya dan pemahaman terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya dalam dua ayat al-Qur’ân:
Ayat yang pertama:
﴿ وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ ﴾
Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku. (Qs adz-Dzâriyât/51:56)
Ayat yang kedua:
﴿ اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ࣖ ﴾
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui (memahami) bahwasannya Allah maha kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Qs ath-Thalâq/65:12)
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa ibadah kepada Allah سبحانه وتعالى tidak akan mungkin dapat diwujudkan oleh seorang hamba dengan benar, kecuali setelah dia mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah سبحانه وتعالى dengan pemahaman yang benar.8
- Ketakutan dan ketakwaan yang sebenarnya kepada Allah سبحانه وتعالى hanya bisa dicapai dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah سبحانه وتعالى dengan cara yang benar), melalui pemahaman terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah سبحانه وتعالى berfirman:
﴿…. اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ ﴾
Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allah)” (Qs Fâthir/35:28)
Dalam hadits yang shahîh Rasulullah ﷺ : “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah سبحانه وتعالى dan paling mengenal-Nya di antara kamu sekalian”9 .
Imam Ibnu Katsîr رحمه الله berkata: “Arti (ayat di atas): Hanyalah orang-orang yang berilmu dan mengenal Allah سبحانه وتعالى yang memiliki rasa takut yang sebenarnya kepada Allah سبحانه وتعالى , karena semakin sempurna pemahaman dan pengetahuan (seorang hamba) terhadap Allah سبحانه وتعالى , Dzat yang Maha mulia, Maha kuasa dan Maha mengetahui, yang memiliki sifat-sifat yang Maha sempurna dan nama-nama yang maha indah, maka ketakutan (hamba tersebut) kepada-Nya semakin besar pula”10.
Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba terhadap (nama-nama dan sifat-sifat) Allah سبحانه وتعالى , maka semakin bertambah pula rasa takut dan pengagungannya kepada-Nya, yang kemudian pengetahuannya ini akan mewariskan perasaan malu, pengagungan, pemuliaaan, merasa selalu diawasi, kecintaan, bertawakal, selalu kembali, serta ridha dan tunduk kepada perintah Allah سبحانه وتعالى .”11
Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa’di رحمه الله berkata: “Semakin banyak pengetahuan seseorang terhadap (nama-nama dan sifat-sifat) Allah سبحانه وتعالى , maka rasa takutnya kepada[1]Nya pun semakin besar, yang kemudian rasa takut ini menjadikan dirinya (selalu) menjauhkan dirinya dari perbuatan-perbuatan maksiat dan (senantiasa) mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Zat yang ditakutinya (Allah سبحانه وتعالى ).”12
- Memahami tauhid asmâ‘ wa shifât Allah سبحانه وتعالى dengan benar adalah satu-satunya cara untuk bisa meraih kenikmatan dan kemuliaan tertinggi di dunia dan akhirat.
Dalam hadits yang shahîh Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah سبحانه وتعالى berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)?” Maka mereka menjawab: “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka?” Maka (pada waktu itu) Allah سبحانه وتعالى membuka hijâb (yang menutupi wajah-Nya yang Maha mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allah سبحانه وتعالى .” kemudian Rasulullah ﷺ membaca ayat berikut:
﴿۞ لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوا الْحُسْنٰى وَزِيَادَةٌ ۗ…. ﴾
Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah سبحانه وتعالى )” (Qs Yûnus/10:26)13
Imam Ibnul Qayyim رحمه الله dalam kitab beliau “Ighâtsatul lahafân “14 menjelaskan bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allah سبحانه وتعالى ) adalah balasan yang Allah سبحانه وتعالى berikan kepada orang yang merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya 15, yang semua ini merupakan buah dari pemahaman yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah سبحانه وتعالى . Beliau menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh doa Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadits yang shahîh: “Aku meminta kepada-Mu (ya Allah سبحانه وتعالى ) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)…”16
Penutup
Beberapa poin yang kami sebutkan di atas menggambarkan kepada kita agungnya kedudukan tauhid asmâ‘ wa shifât Allah سبحانه وتعالى dan besarnya keutamaan mempelajari dan memahaminya. Masih banyak poin lain yang tentu tidak mungkin disebutkan semuanya di sini.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita untuk semakin giat dan bersungguh-sungguh mempelajari ilmu agama, terutama ilmu tauhid yang merupakan landasan agama Islam ini.
Ya Allah سبحانه وتعالى , aku meminta kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti), dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia), tanpa adanya bahaya yang mencelakakan dan fitnah yang menyesatkan.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَأَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنْ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Kota Nabi ﷺ , 7 Jumadal Akhir 1430 H ‘
Abdullâh bin Taslîm al-Buthoni
Footnote:
1 Keduanya dinamakan al-ikhlâsh karena berisi pemurnian ibadah untuk Allah سبحانه وتعالى semata dan penetapan sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya.
2 Kitab “Ijtimâ’ul Juyûsyil Islâmiyyah ‘Ala Ghazwil Mu’aththilatil Jahmiyyah” (hal.43).
3 Kitab “Syarhul Arba’în an-Nawâwiyyah” (hal.43-44).
4 Kitab “Miftâhu Dâris Sa’âdah” (1/86).
5 Kitab “ Miftâhu dâris sa’âdah “ (1/86).
6 Lihat kitab “Sabîlul hudâ war rasyâd” (hal. 401).
7 Kitab “Madârijus Sâlikin” (3/17).
8 Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim رحمه الله tentang pembahasan penting ini dalam kitab beliau “Miftâhu Dâris Sa’âdah” (1/178).
9 HSR al-Bukhâri (no. 20) dari ‘Aisyah رضي الله عنهما .
10 Tafsir Ibnu Katsîr (3/729)
11 Kitab “Raudhatul Muhibbîn” (hal. 406).
12 Kitab “Taisîrul Karîmir Rahmân” (hal. 502).
13 HSR Muslim dalam “Shahîh Muslim” (no. 181) dari Shuhaib bin Sinân z .
14 Hal. 70-71 dan hal. 79 (Mawâridul amân, cet. Dâr Ibnil Jauzi, ad-Dammâm, 1415 H).
15 Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti” (al-Wâbilush Shayyib 1/69).
16 HR an Nasâ-i dalam “As-Sunan” (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam “Al-Musnad” (4/264), Ibnu Hibbân dalam “Shahîhnya” (no. 1971) dan Al-Hâkim dalam “Al-Mustadrak” (no. 1900), dishahîhkan oleh Ibnu Hibbân, Al-Hâkim, disepakati oleh adz Dzahabi dan Syaikh al-Albânit dalam “Zhilâlul Jannah Fî Takhrîjis Sunnah” (no. 424)
EDISI 04/THN. XIII/RAJAB 1430H/JULI 2009M